Sabtu, 20 Juni 2009

CAPRES-CAWAPRES DAN KOMITMEN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM DI INDONESIA

A. Konflik Aceh dan Papua

Aceh dan Papua berbeda dari konflik-konflik di Indonesia misalnya kasus Ambon , Poso, Ketapang dll. Aceh-Papua adalah konflik vertical, penyelesaiannya akut sepanjang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua wilayah ujung Indonesia ini selalu ada gejolak separatisme. Kontak senjata antara pejuang kemerdekaan dan TNI/POLRI tak terhindarkan dan membawa banyak korban kedua pihak terutama rakyat sipil.

GAM di Aceh dan TPN/OPM di Papua sebagai suatu gerakan separisme sudah lama ada, malah lebih dini pra proklamasi kemerdekaan Indonesia . Mereka selama ini selalu berhadap-hadapan secara militer (bersenjata) dengan TNI/POLRI. Hal ini tentu saja memperrumit dialog percepatan penyelesaian dan pembangunan didaerah tersebut.

Konflik berdarah ini pada akhirnya, ibarat benang kusut, sulit di selesaikan. Mungkin Aceh ada harapan penyelesaian dan itu dirasakan rakyat disana saat ini. Bagaimana dengan Papua? Tulisan ini mencoba mengupas persoalan konflik di Papua sambil menyinggung Aceh, dan bagaimana komitmen penyelesaiannya dalam, kampanye oleh para Capres-Cawapres RI 2009 ini, sehingga di kemudian hari konflik seperatisme disana diselesaikan secara menyeluruh.


Komitmen Capres-Cawapres Penyelesaian Konflik


Sejak jadwal kampanye ditetapkan oleh KPU, maka Capres-Cawapres Indonesia 2009 mulai mengobral janji-janji sebagai layaknya kampanye. Tapi dari semua Capres-Cawapres, hanya Yusuf Kalla datang bicara dengan rakyat Aceh. Lainnya belum kelihatan punya komitmen bagaimana menyelesaikan konflik separatisme dikedua wilayah itu. Malah menurut hemat saya tidak ada satupun Capres-Cawapres yang menjanjikan penyelesaian konflik secara konkrit, baik di Aceh apalagi Papua secara menyeluruh.

Capres dari Golkar, Yusuf Kalla, mengawali kampanyenya datang ke Aceh dan berbicara secara blak-blakan gaya makassar-nya. Melalui pengakuannya sendiri kita menjadi tahu bahwa dibalik perdamaian GAM-RI di Helsinki ada peran Yusuf Kalla. Sebahagian tuntutan GAM misalnya syari’at islam otomatis menimalisir letupan-letupan kontak senjata antara TNI/POLRI versus GAM bisa diredam.

Demikian sama konflik berdimensi horizontal di Poso, Ambon, Sambas, Jakarta dll dalam skala local lainnya adalah Yusuf Kalla salah satu Capres RI mengakui dirinya berperan aktif menyelesaikannya. Tapi Yusuf Kalla Capres sipil, yang memang tidak pernah punya andil atau berperan sebagai apapun dalam konflik yang banyak mengorbankan rakyat sipil disana. Hal demikian tidak ada pengakuan dari tiga Capres-Cawapres RI lainnya, terutama yang berlatar belakang militer.

Apakah karena memang mereka terlibat atas konflik-konflik semasa aktif di militer masa lalu? Wallahu’alam. Pastinya belum ada lain selain Yusuf Kalla yang datang ke Aceh dan bicara terus-terang dia terlibat aktif. JK mengakui dirinya punya peran besar dalam penyelesaian Helsinki disela-sela kampanyenya disana. Karena itu dia bisa dan memang sanggup menjajikan pada GAM, penyelesaian keamanan kenyamanan hidup rakyat Aceh. Tapi sanggupkah dia dengan Papua dan TPN/OPM? Dan bagaimana format penyelesaian konflik secara konprehenshif bisa di wujudkan di Papua Barat diidealkan sebagai “Papua Zona Damai” tanpa kedamadaian terus-menerus itu?

Capres-Cawapres lain seperti Mega-Pro, SBY-Budiono dan Wiranto, sejauh belum tahu nampak komitmennya, bagaimana penyelesaian konflik menyeluruh mau diwujudkan di Aceh dan utamanya di Papua Barat. Mereka belum bicara soal ini dalam kampanyenya. Bagaimana kalau mereka terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia nanti, kelak seperti apa penyelesaian konflik di wilayah ujung Barat dan Timur Indonesia itu?

Bahkan sebahagian masyarakat korban di kedua wilayah ini menganggap bahwa semua Capres-Cawapres 2009 ini punya peran dimasa lalu sebagai problem maker, di kedua wilayah konflik itu. Mereka semua tidak punya potensi sebagai problem solving sehingga secara cakap dan sanggup menyelesaikan dendam konflik yang sudah mendarah daging. Sebab baik secara social, ekonomi terutama budaya, seperti Papua agak lain dari kesanggupan semua Capres-Cawapres RI 2009 ini. Mungkin di Aceh Yusuf Kalla sanggup untuk sementara, tapi sanggupkah dia menyelesaikan kasus sama di Papua? Apakah mereka semua sanggup? Wallahu’alam.!

Sejauh ini dalam beberapa kesempatan kampanye didepan umum semua Capres-Cawapres belum ada yang menjanjikan, apalagi secara sanggup mampu membenarkan asumsi pesimisme kita bahwa siapapun presidennya soal Papua harus dihadapi secara hati-hati karena agak lebih gawat. Solusinya sebaiknya para Capres-Cawapres punya komitmen baru dan lain misalnya dengan kuota menteri lebih dari sebelum ini sebagaimana jatah sama dengan Aceh. Dan ini mampu meredam bukan menyelesaikan konflik.


B. OPM : Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP, bagi TPN/OPM di rimba raya Papua tidak dianggap sebagai solusi. Karena sejauh ini dan mungkin sampai nanti juga bahwa Otsus Papua sebagai kompromi jalan tengah bukan solusi bagi rakyat Papua. Apatah lagi perjanjian pemberian dan penerimaan (berarti, ijab-qobul) Otsus tidak pernah melibatkan TPN/OPM sesungguhnya di rimba raya Papua.


Bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Malah Otsus dianggap illegal/tidak sah oleh TPN/OPM. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM di rimba raya sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkompromi.

Sebelum ini hanya PDP menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta . Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Akibatnya TPN/OPM selama ini dan nanti tetap akan eksis di rimba raya Papua. Letupan-letupan secara sporadic selalu akan ada dalam aktivitas gerilya dan itu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah. Oleh sebab itu Indonesia harus melibatkan mereka mencari solusi soal Papua. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas secara sebenarnya, sebagaimana Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

C. Solusi Konflik Papua

  1. Pemberian kuota 3 Menteri maksimal dan minimal 2 jabatan kementerian satu Departemen
  2. Membentuk komisi rekonsialisasi dan kebenaran seperti di Afrika Selatan untuk penyelesaian kasus pelanggaran Ham di Papua secara menyeluruh
  3. Melakasanakan Ostsus secara konsisten
  4. Akhirnya kebijakan Gus-Dur dirasakan lebih diterima Papua dari kenyataan sekarang
  5. Keberpihakan pada rakyat asli Papua adalah suatu komitmen sehingga Otsus benar-benar bermakna.
  6. Dialog harus dilakukan pada tiga tahap (local, nasional, internasional)

Papua Barat, sejak integrasi- (kata orang Papua, aneksasi paksa, karena PEPERA tahun 1962 tanpa mekanisme, one man one vote).-dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1969, maka sepanjang itupula banyak korban baik dari rakyat sipil yang dicurigai sebagai pembangkang NKRI. Sepanjang integrasi Papua senantiasa tanpa damai, walaupun selalu dikatakan “Papua Zona Damai”. Malahan konflik terus-menerus secara berkala antara TPN/OPM-TNI/ POLRI.

Karena itu harus ada komitmen dari Capres-Cawapres RI bentuk konkrit solusi penyelesaian kasus Papua seperti apa. Karena sejauh yang sudah berjalan sebelum ini belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.

Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di Papua. Yang itu berarti selalu punya peluang membunuh rakyat Papua yang dicurigai karena alas an keutuhan seperti kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay , Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). Karena itu di Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kesatuan angkatan bersejata TNI/POLRI organic dan non organic. Demikian sama halnya Aceh. Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu tiada pernah berakhir.

Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helsinki . Apakah Papua juga sanggup di hentikan sebagaimana Aceh? Bagaimana format jitu yang akan ditawarkan oleh Capres-Cawapres atas kasus pelanggarana HAM berat sejak tahun 1962 hingga hari ini di Papua? Sanggupkah mereka menyamai prestasi Kiay Haji Abdurrahman Wahid ataukah sama seperti Megawati dan SBY seperti saat ini, terperangkap masuk pada halal-haram symbol cultural bagi rakyat Papua sehingga kembali ke titik nol lagi? Hanya pada Tuhan kita berserah diri!

Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.

ESSENSI KONFLIK DI PAPUA

Konflik Primer


Konflik TPN/OPM versus TNI/POLRI di Papua merupakan konflik primer dari segala konflik sepanjang integrasi Papua kedalam NKRI। Konflik dimensi lain, yang melibatkan rakyat sipil (konflik horizontal) maupun TPN/OPM versus TNI/POLRI adalah konflik paling akut tapi juga paling sulit, untuk tidak dikatakan tidak sanggup diselesaian oleh kedua pihak lain ideology itu, entah itu oleh OPM, rakyat Papua maupun pemerintah Indonesia.


Papua Barat, sejak integrasi melalui PEPERA (kata sebahagian orang Papua, sebenarnya aneksasi paksa) dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1979, maka sepanjang itupula banyak korban berjatuhan disatu pihak TPN/OPM-TNI/POLRI dan dilain pihak rakyat Papua. PEPERA tahun 1962 yang konon katanya tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara)।


Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik। Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.


Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, memang banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Di Papua nun jauh sana banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic


Demikian sama halnya Aceh। Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan GAM di ujung Barat dan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu selalu saja ada darah, dan air mata tanpa pernah kita tahu kapan bisa selesai. Namun akhir-akhir ini agaknya Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helskiny.


Tidak demikian dengan Papua, konflik TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak secara berhadap-hadapan adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat dan Aceh। Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus Papua, tidak sebagaimana Nagri Aceh Darussalam (NAD). Aceh sejak perjanjian Helsinky, Swiss, Eropa, para tokoh GAM bisa menerima hasil kesepakatan damai. Dan genjatan senjata kedua bela pihak menunjukkan eskalasi konflik secara drastis menurun disana.


Hal demikian seakan sama sekali tidak pernah bisa tercipta di Papua। Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog. Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya anatara TPN/OPM dan Jakarta . Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan dengan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.


Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM। Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.


Karena itu wajar akibatnya konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.


Eskalasi separatisme di Papua cukup tinggi aksi-aksi secara sporadis oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang mengalir kesana oleh pusat। Otsus Papua yang berarti banyak uang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Papua merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.


Namun di Aceh konflik bersenjata selama ini yang kita kenal banyak membawa korban kedua bela pihak bertikai (TNI/POLRI-GAM) sudah selesai। Diera Otsus NAD, apalagi tuntutan utama mereka selama ini yakni pelaksanaan syari’at islam sudah berjalan baik disana, membenarkan asumsi orang bahwa konflik secara militer kedua bela-pihak sudah selesai untuk sementara saat ini atau tetap akan muncul kembali? Kita tidak tahu!


Otsus Papua demikian sama halnya dengan Aceh diterima dengan syarat oleh PDP। Karena Otsus Papua katanya sebagai hasil kompromi dan itu dianggap oleh kedua kelompok berbeda ideologi bertikai sebagai jalan tengah dari jalan kebuntuan. Ternyata dugaan itu terbantahkan sendiri oleh banyak fakta sepanjang Otsus berjalan terutama tahun 2008-2009 ini dimana-mana muncul aksi-aksi separatis di sejumlah lokasi wilayah Papua sebagaimana disebut diatas.


Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi soal itu (Otsus Papua) dengan TPN/OPM tapi dengan PDP (Presidium Dewan Papua)। Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya sebagaimana yang terjadi di Aceh. Kecuali OPM buatan militer Indonesia yang sejauh ini dilibatkan dalam penyelesaian persoalan Papua selama ini bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya. Hasilnya sudah jelas sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.


Bagi OPM Otsus Bukan Solusi


Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua dengan dirinya। Otsus dianggap illegal/tidak sah. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal bersenjata di rimba raya dan sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Sebagai akibatnya tentu hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkepentingan dari kompromi itu apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM.


Selama ini hanya oleh PDP yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta । Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.


Akibat semuanya itu TPN/OPM saat ini tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah Indonesia selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka। Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.


Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas dengan secara sebenarnya, sebagaimana di Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM sungguhan akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi। Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.


Kenyataan lain kita alami saat ini di Papua, betapapun Otsus Papua dapat dianggap meredam anasir separatisme tapi kenyataan sesungguhnya Otsus punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final seperti didugaa banyak orang dari awal। Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian nanti untuk selamanya, jika penyelesaian konflik TNI/POLRI versus TPN/OPM tidak pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya yakni TPN/OPM.


Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro Jakarta padahal banyak tokoh intelektual Papua tidak ikut-ikutan rebutan jabatan Otsus tapi tetap eksis mempertahankan idealisme mereka di kampus-kampus. Mereka ini masih konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bahwa bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, Ham dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong।


Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia , bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia . Maka selama tuntutan mereka belum dipenuhi Indonesia sepanjang itu jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua।


Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya। Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan kalau itu diadakan untuk penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.


Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran Ham, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis। Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dan akan meneriakkan yel-yel perjuangan dengan mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.


Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan Ham, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua।