A. Konflik
Eskalasi konflik separatisme dan aksi terror di Papua akhir-akhir ini menyita perhatian public nasional dan internasional. Terror dan issu separaratisme sudah lama ada di Papua. Namun mengejutkan karena bersamaan Pemilu 2009. Dalam siaran persnya kamis 15 Juli 2009, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo dan Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) Marcus Haluk, menolak tegas OPM ada dibalik terror ini, khususnya penembakan di Timika yang menewaskan warga Australia. Sekjen KNPB Demus Wenda pernah mengakui bahwa beberapa insident seperti Tinginabut, pembakaran Gedung Rektorat Uncen, Penguasaan Lapter Kapeso, penyerangan Polsek Abepura dan Kampung Slayer Abe Pante adalah gerakan rakyat Papua yang mencari kedaulatan. (Cenderawasihpos, KNPB Klaim Bertanggungjawab, Jayapura, 1 Juni 2009)
Serangkaian aksi terror di Papua, seperti; penemuan bom di jembatan Kali Tami Jayapura, pembakaran Rektorat Uncen, Kantor KPUD, penikaman beberapa warga di Perumnas I, II, II Waena Kota Jayapura, penikaman tukang ojek di Wamena, pembakaran tangki minyak di Biak, penembakan dan pembakaran warga sipil di Kapeso Mamberamo Raya, pemenbakan warga sipil oleh anggota TNI di perbatasan RI-PNG, dan sejumlah peristiwa lainnya menjelang pemilihan legfilatif dan pemilihan presiden 2009. Tentu ada aktor dibaliknya. Artinya tuduhan tidak bisa dilimpahkan pada TPN/OPM, tapi TNI/POLRI punya peran dibalik semua aksi terror yang mengakibatkan korban rakyat sipil Papua.
Aksi pembunuhan misterius secara sadis pada malam tanggal 8 April 2009 Wamena menunjukkan pelakunya sangat terlatih dan perofesional, mengingatkan kita kasus sama di Tasikmalaya oleh Naga Hijau, dan itu dilakukan satu hari sebelum pencoblosan Pemilu Legislatif tanggal 8 April tahun 2009. Jika begitu ada apa sebenarnya dan siapa pelaku sesungguhnya? Dari ciri-ciri modus operandinya pelaku diduga keras kelompok terlatih, yang pastinya bukan OPM. Walaupun demikian pihak militer menuduh bahwa dibalik semua peristiwa aksi terror di sejumlah tempat di Papua dilakukan oleh kelompok garis keras sayap militer TPN/OPM. Tapi jika diperhatikan pernyataan sikap penolakan NKPB dan AMPTPI sebagai organisasi sayap TPN/OPM. Maka menjadi jelas bahwa pelaku terror ada aktor dan itu terkait dengan pelaksanaan Pilleg dan Pilpres Indonesia tahun 2009.
Lalu siapa sesungguhnya pelaku peristiwa penembakan di Mile 52 pada 11 Juli 2009 pukul. 05.00 WIT, yang menimpa Karyawan PT Freeport Indonesia yang bekerja di Departement Expert Munical Contruction, berwarga negara Australia, Mr. Ddrew Nicholas Grant (38), bersama Mr. Lucan Jhon Biggs (pengemudi) dan Maju Pandjaitan (rekan kerja korban) di Timika Papua yang menyita perhatian Internasional karena korban penembakan warga negara asing (Austaralia)?
Sejauh ini TPN/OPM menolak keras dirinya terlibat terror ini. TNI/POLRI belum mengaku, kita masih tunggu hasil penyidikan terakhir akan mengarah ke pihak mana. Sejauh ini belum ada pengakuan dari kelompok manapun, baik TNI/POLRI maupun TPN/OPM. Selang sehari terror di Timika, terror berikutnya terjadi baku-tembak antara TNI/POLRI dan masyarakat di Yapen Waropen Papua karena TNI/POLRI mengaku mencurigai bahwa kampung tersebut sebagai basis perkampungan TPN/OPM. Walaupun yang ditangkap aparat TNI/POLRI anak sekolah usia belasan tahun.
Pemilu legislative dan Presiden tahun 2009 banyak terjadi serangkaian aksi TPN/OPM dan TNI/POLRI secara sporadis. Sejak tahun 2008 dirasakan intentitas kegiatan separatisme TPN/OPM dan terror TNI/POLRI dirasakan sangat tinggi di Papua. Bahkan sampai saat ini masih terus berlangsung tanpa bisa diketahui kapan berakhir. Intinya Otsus dengan banyak kucuran dana trilyunan tidak merubah apa-apa, meredam terror TNI/POLRI dan konflik separatisme di Papua. Harus ada solusi konpreheshif sekaligus pemerintahan yang dipilih jujur demokratis dan langsung yang dimenangkan pasangan SBY-BUDIONO kedepan untuk mengatasi peristiwa terror dan issu separatisme di papua.
B. Akar Masalah
Papua Barat (dulu, Irian Jaya), sejak integrasi melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan PBB tahun 1979, konflik berkepanjangan terus terjadi di Papua. Tapi selama ini belum pernah ada solusi pedamaian menyeluruh terwujud. Seakan jalan secara damai tak pernah ada ujung. Sebab sepanjang integrasi selalu saja ada konflik dan itu menyebabkan banyak korban berjatuhan pihak TPN/OPM vs TNI/POLRI dan terutama rakyat sipil Papua.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena PEPERA tahun 1962, sesungguhnya rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Unisoviet), secara politik lebih condong ke Blok Timur. Karena itu wajar kalau kemudian Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno (Natalis Pigay, Evolusi Nasionalisme, dalam pendahuluan). Maka tawarannya adalah Papua “dititipkan” dulu untuk sementara di kontrol Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak di kemudian hari. (Socrates Sofyan Nyoman, New York Agreeman, 1998).
Namun antar pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalan Papua menjadi berbeda, masalahnya jadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang sudah lebih dulu masuk- persetujuan izin penambangan ditandatangani pada tahun 1967, sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979.
Rakyat Papua selama integrasi dibungkam habis. Mereka tidak boleh menyanyikan: Hai Tanahku Papua, dan menghormati Bintang Kejora, di seluruh pelosok Papua hanya boleh satu lagu, Indonesia Raya dan bendera Merah Putih. Demikian itu berlangsung selama 45 tahun. Yang lain jangan boleh ada bicara selain persoalan Papua dianggap final sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI. Sehingga buku pelajaran sejarah yang diajarkan disekolah-sekolah pada anak-anak kita di Papua tentang, ‘Papua telah kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi’ pada tahun 1962 melalui Pepera tanpa menjelaskan bagaimana proses Pepera itu.
Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring dengan adanya jaminan kebebasan berbicara. Maka persoalan Papua mulai terkuak kembali kepermukaan. Orang-orang Papua mulai mempersoalkan dirinya didalam NKRI dan menuntut pengembalian kedaulatannya yang konon sudah merdeka pada tanggal 1 Desember tahun 1961. Belakangan orang menjadi tahu bahwa kenyataannya memang persoalan Papua sejak awal ada masalah terutama dalam proses integrasi.
Karena itu dengan sendirinya persoalan Papua tidak habis selesai sampai situ. Integrasi Papua kedalam NKRI dengan sendirinya tidak sah dan cacat hukum. Bukan seperti bahasa para pejabat dan tertulis dalam buku-buku sejarah yang diajarkan pada anak-anak kita di Papua selama ini dengan mengatakan: “Papua telah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi (Indonesia)”, sehingga seakan-akan tidak ada persoalan dalam integrasi Papua dalam NKRI.
Bertepatan dengan reformasi mahasiswa Indonesia orang Papua mulai buka mulut dan bicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Kampanye dan persiapan membentuk pemerintahanpun dipersiapkan pasca kejatuhan Presiden Soeharto. Satgas Papua, PDP dan kabinet bayanganpun dibentuk dalam Kongres ke II di GOR Jayapura pada tahun 2001. Mereka mulai mengaku dirinya bukan sebagai bagain dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rakyat Papua keberadaannya di dalam NKRI tidak sah. Sebab proses integrasi penuh rekayasa dan manipulasi antara Indonesia dan Amerika (baca: John F Kennedy dan Soekarno) karena itu ada masalah.
Hal itu diawali dialog pertemuan 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal (kini ketua PDP) dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:
1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;
2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;
3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;
4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.
Rekomendasi Kongres, pelurusan sejarah Papua, agenda dialog, dan pembentukan kabinet bayangan pemerintahan transisi dll, membuat ketakutan tersendiri bagi yang lain. Konpensasi dari sejumlah rekomendasi pada akhirnya mempenagruhi kebijakan keputusan pemerintah pusat. Misalnya PT. Freeport tetap diambil Amerika dan hanya sedikit ganti rugi bagi tanah ulayat, untuk kegiatan sosial bagi rakyat miskin dan terbelakang tujuh suku Timika diperhatikan. Perusahaan emas terbesar dunia milik Amerika Serikat itu pada akhirnya harus bayar pajak kepada negara Indonesia sangat tinggi saat ini.
C. Integrasi
Proses integrasi Papua kedalam NKRI penuh rekayasa kepentingan Amerika dan Indonesia, sehingga dengan sendirinya bagi orang Papua integrasi hanyalah aneksasi paksa dan karenanya cacat hukum. Bagi kebanyakan orang Papua, PEPERA tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara) adalah essensi permasalahan dari semua konflik antara TNI/POLRI dan TPN/OPM selama ini. Maka sebelum ada kemauan baik politik para pemimpin Indonesia, maka sepanjang itupula solusi penyelesaian konflik Papua tidak pernah ada titik temu.
Konflik terus berkepanjangan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Bahkan selama 45 tahun integrasi dengan Indonesia sama sekali tidak membawa kemajuan bangsa Papua. Bahkan para pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada gejala suatu upaya proses genosida (punahisasi) etnis Papua secara terselubung (HIV/AIDS, dilakukan dan sengaja dibiarkan terjadi melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi antara rakyat dengan pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).
Memang ada sesuatu yang baik, jadi maksudnya benar, dari Gus-Dur, yang tidak mampu dimengerti Presiden lain Indonesia. Misalnya hal-hal simbolik bukan essensi bernilai cultural Papua harus dihargai karena keunikannya, tidak dipahami baik Presiden berikutnya. Misalnya MRP di Pasung, pencurian emas Papua oleh Freeport Amerika tetap dibiarkan oleh negara, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memakainya, sekarang dianggap haram dan subversip. Hingga ada pasal-pasal UU karet tentang terorisme siap membungkam atau dengan alasan terorisme kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan halal memukul anak-anak mahasiswa Papua sampai mati di penjara.
Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk dan martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui dimana, dihilangkan begitu saja tanpa jejak dan pesan, adalah wajah buruk warisan Presiden Megawati bagi orang Papua. SBY-JK melanjutkan kebijakan itu dan terus membiarkan terjadi sepanjang pemerintahan mereka. Sehingga banyak mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua sangat menderita dan banyak ditangkap dan disiksa ditahanan Polisi. Demikian ini menyisakan luka mendalam bagi kalangan aktifis rakyat Papua. Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, dinilai kurang sopan.
Umumnya terkesan mengekang orientasi kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Bahkan dugaan kuat dikemukakan kalangan intelektual Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay bahwa benar ada proses genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan.
Itu berarti upaya secara terselubung pihak-pihak tertentu untuk membunuh habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika benar provokasi para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya hak bereksistensi didunia habitatnya saja tapi juga adalah menyakut mempertahankan hak hidup diri bangsa Papua.
Indonesia dengan stigma seperatisme, UU pasal karet terorisme, menjadikan dirinya semua menjadi halal, membunuh, menangkap dan menyiksa, siapa saja orang Papua. Dan memang selama ini kita lihat, Jakarta banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Oleh sebab itu Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic.
Karena itu tak terhindarkan konflik bersenjata antara pihak pejuang kemerdekaan (TPN/OPM) dan TNI/POLRI. Di Papua selalu saja ada darah, air mata, tanpa pernah kita tahu kapan berakhir. Maka sesungguhnya konflik vertical antara TNI/POLRI dan TPN/OPM adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat. Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus. Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog.
Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya antara TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.
Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.
Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi terror dan separatisme puncaknya pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.
Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi Otsus Papua dengan TPN/OPM tapi dengan Presidium Dewan Papua (PDP). Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya. Kecuali selama ini kita dengar bahwa Jakarta berkompromi dengan OPM kota buatan militer Indonesia.
Kita belum pernah saksikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Yang dilibatkan dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM sungguhan tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.
B. Otsus Papua
Sejak Otsus diterima Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu hanya bisa diketahui Gus-Dur yang tidak di pahami oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, malah lebih tidak dimengerti aparat militer Indonesia di Papua.
Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali. Semua usaha pemerintah seakan tidak mempan untuk meredam keinginan aspirasi “M” (merdeka) Papua. Terbukti dengan limpahan sekian banyak dana trilyunan belum mampu meredam aksi separatisme Papua. Dimana kesalahannya dan bagaimana solusi penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua mau diakhiri?
Padahal harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa diredam, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme berkempajangan bisa diakhiri sebagaimana penyelesaian konflik sama Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian Papua bahwa dengan Otonomi Khusus maka konflik separatisme bisa diminimalisir. Untuk itu pemerintah Pusat banyak mengucurkan uang didaerah paling ujung Timur Indonesia itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009, membantahkan tesis itu.
Padahal dengan adanya Otsus Papua harusnya mampu mencegah separatisme. Alasannya dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dapat diharapkan meredam anasir separatisme. Memang dana trilyunan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi bagi negara, misalnya hanya menyebut satu, PT Freeport.
Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditampik Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walaupun harus diakui bahwa kelompok kompromistis ini, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pemerintah pusat.
Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat, bagi mereka terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentaliltas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Karena pemerintah terkesan memberikan Otsus Papua semata-mata agar rakyat Papua yang menuntut pemisahan diri dari NKRI agar diam.
Sejauh ini terkesan pemerintah pusat tidak secara serius dan konsisten melaksanak Otsus Papua. Misalnya honor MRP yang tidak dibayar selama beberapa bulan, sekian banyak rekomendasi MRP yang tidak ditanggapi pemerintah. Padahal pembentukan MRP dan pengesahan melalui UU dan sahkan sendiri oleh SBY. Tapi barang yang disahkan pemerintah sendiri melalui UU tidak jelas gaji anggota MRP darimana mau diambilaknnya. Bahkan bagi aktifis Papua menganggap bahwa sekarang ini MRP bukan lagi lambang cultural rakyat Papua Barat. MRP sekarang ini tidak lebih hanya superbody pemerintahan colonial yang sebelumnya di era Gus-Dur, MRP mau difungsikan benar-benar sebagai lambang cultural karena disana ada keterwakilan semua suku dan budaya Papua seperti unsur perempuan, agama, dan golongan yang mencirikan pluralitas semua suku masyarakat Papua.
D. OPM: Otsus Bukan Solusi
Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi TPN/OPM di rimba raya Papua, bagi mereka Otsus Papua sama sekali bukan solusi. Jargon TPN/OPM jelas, bagi mereka, Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI.
Kenyataannya sekarang memang benar diera Otsus Papua banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka lepas dari NKRI. Sampai saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang.
Mengapa itu bisa terjadi? Harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua. Hanya PDP menerima tapi dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog. Tapi tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua.
Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua. Otsus bagi OPM di Pasifik dan TPN rimba raya Papua illegal/tidak sah. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima Otsus bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal gerakan resmi separatisme di rimba raya Papua. Hasilnya berbeda dari yang diinginkan. Apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM sesungguhnya yang berkeliaran di negara-negara kepulauan Pasifik di rimba raya Papua.
Hanya PDP saja yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.
TPN/OPM tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua pemerintah selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.
Dugaan pemerintah pusat Otsus Papua dapat meredam anasir separatisme. Tapi Otsus sesungguhnya hanya punya potensi menimalisir bukan solusi final. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian selamanya, jika penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM, maka perang antara TNI/POLRI versus TPN/OPM tetap akan terjadi selamanya. Demikian juga kalau penyelesaian tanpa pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya TPN/OPM. Akhirnya harapan utopia” Papua Zona Damai” hanya live service belaka para tokoh Agama Papua dan TNI/POLRI.
Sebab selama ini yang duduk berunding hanya beberapa orang kelompok pro Jakarta, tanpa melibatkan tokoh intelektual Papua dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Mereka eksis mempertahankan idealisme, konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong. Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.
Selama tuntutan mereka belum dipenuhi sepanjang jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan. Bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.
Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dengan meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! dst.
Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan HAM, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua.
Serangkaian aksi terror di Papua, seperti; penemuan bom di jembatan Kali Tami Jayapura, pembakaran Rektorat Uncen, Kantor KPUD, penikaman beberapa warga di Perumnas I, II, II Waena Kota Jayapura, penikaman tukang ojek di Wamena, pembakaran tangki minyak di Biak, penembakan dan pembakaran warga sipil di Kapeso Mamberamo Raya, pemenbakan warga sipil oleh anggota TNI di perbatasan RI-PNG, dan sejumlah peristiwa lainnya menjelang pemilihan legfilatif dan pemilihan presiden 2009. Tentu ada aktor dibaliknya. Artinya tuduhan tidak bisa dilimpahkan pada TPN/OPM, tapi TNI/POLRI punya peran dibalik semua aksi terror yang mengakibatkan korban rakyat sipil Papua.
Aksi pembunuhan misterius secara sadis pada malam tanggal 8 April 2009 Wamena menunjukkan pelakunya sangat terlatih dan perofesional, mengingatkan kita kasus sama di Tasikmalaya oleh Naga Hijau, dan itu dilakukan satu hari sebelum pencoblosan Pemilu Legislatif tanggal 8 April tahun 2009. Jika begitu ada apa sebenarnya dan siapa pelaku sesungguhnya? Dari ciri-ciri modus operandinya pelaku diduga keras kelompok terlatih, yang pastinya bukan OPM. Walaupun demikian pihak militer menuduh bahwa dibalik semua peristiwa aksi terror di sejumlah tempat di Papua dilakukan oleh kelompok garis keras sayap militer TPN/OPM. Tapi jika diperhatikan pernyataan sikap penolakan NKPB dan AMPTPI sebagai organisasi sayap TPN/OPM. Maka menjadi jelas bahwa pelaku terror ada aktor dan itu terkait dengan pelaksanaan Pilleg dan Pilpres Indonesia tahun 2009.
Lalu siapa sesungguhnya pelaku peristiwa penembakan di Mile 52 pada 11 Juli 2009 pukul. 05.00 WIT, yang menimpa Karyawan PT Freeport Indonesia yang bekerja di Departement Expert Munical Contruction, berwarga negara Australia, Mr. Ddrew Nicholas Grant (38), bersama Mr. Lucan Jhon Biggs (pengemudi) dan Maju Pandjaitan (rekan kerja korban) di Timika Papua yang menyita perhatian Internasional karena korban penembakan warga negara asing (Austaralia)?
Sejauh ini TPN/OPM menolak keras dirinya terlibat terror ini. TNI/POLRI belum mengaku, kita masih tunggu hasil penyidikan terakhir akan mengarah ke pihak mana. Sejauh ini belum ada pengakuan dari kelompok manapun, baik TNI/POLRI maupun TPN/OPM. Selang sehari terror di Timika, terror berikutnya terjadi baku-tembak antara TNI/POLRI dan masyarakat di Yapen Waropen Papua karena TNI/POLRI mengaku mencurigai bahwa kampung tersebut sebagai basis perkampungan TPN/OPM. Walaupun yang ditangkap aparat TNI/POLRI anak sekolah usia belasan tahun.
Pemilu legislative dan Presiden tahun 2009 banyak terjadi serangkaian aksi TPN/OPM dan TNI/POLRI secara sporadis. Sejak tahun 2008 dirasakan intentitas kegiatan separatisme TPN/OPM dan terror TNI/POLRI dirasakan sangat tinggi di Papua. Bahkan sampai saat ini masih terus berlangsung tanpa bisa diketahui kapan berakhir. Intinya Otsus dengan banyak kucuran dana trilyunan tidak merubah apa-apa, meredam terror TNI/POLRI dan konflik separatisme di Papua. Harus ada solusi konpreheshif sekaligus pemerintahan yang dipilih jujur demokratis dan langsung yang dimenangkan pasangan SBY-BUDIONO kedepan untuk mengatasi peristiwa terror dan issu separatisme di papua.
B. Akar Masalah
Papua Barat (dulu, Irian Jaya), sejak integrasi melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan PBB tahun 1979, konflik berkepanjangan terus terjadi di Papua. Tapi selama ini belum pernah ada solusi pedamaian menyeluruh terwujud. Seakan jalan secara damai tak pernah ada ujung. Sebab sepanjang integrasi selalu saja ada konflik dan itu menyebabkan banyak korban berjatuhan pihak TPN/OPM vs TNI/POLRI dan terutama rakyat sipil Papua.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena PEPERA tahun 1962, sesungguhnya rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Unisoviet), secara politik lebih condong ke Blok Timur. Karena itu wajar kalau kemudian Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno (Natalis Pigay, Evolusi Nasionalisme, dalam pendahuluan). Maka tawarannya adalah Papua “dititipkan” dulu untuk sementara di kontrol Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak di kemudian hari. (Socrates Sofyan Nyoman, New York Agreeman, 1998).
Namun antar pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalan Papua menjadi berbeda, masalahnya jadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang sudah lebih dulu masuk- persetujuan izin penambangan ditandatangani pada tahun 1967, sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979.
Rakyat Papua selama integrasi dibungkam habis. Mereka tidak boleh menyanyikan: Hai Tanahku Papua, dan menghormati Bintang Kejora, di seluruh pelosok Papua hanya boleh satu lagu, Indonesia Raya dan bendera Merah Putih. Demikian itu berlangsung selama 45 tahun. Yang lain jangan boleh ada bicara selain persoalan Papua dianggap final sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI. Sehingga buku pelajaran sejarah yang diajarkan disekolah-sekolah pada anak-anak kita di Papua tentang, ‘Papua telah kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi’ pada tahun 1962 melalui Pepera tanpa menjelaskan bagaimana proses Pepera itu.
Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring dengan adanya jaminan kebebasan berbicara. Maka persoalan Papua mulai terkuak kembali kepermukaan. Orang-orang Papua mulai mempersoalkan dirinya didalam NKRI dan menuntut pengembalian kedaulatannya yang konon sudah merdeka pada tanggal 1 Desember tahun 1961. Belakangan orang menjadi tahu bahwa kenyataannya memang persoalan Papua sejak awal ada masalah terutama dalam proses integrasi.
Karena itu dengan sendirinya persoalan Papua tidak habis selesai sampai situ. Integrasi Papua kedalam NKRI dengan sendirinya tidak sah dan cacat hukum. Bukan seperti bahasa para pejabat dan tertulis dalam buku-buku sejarah yang diajarkan pada anak-anak kita di Papua selama ini dengan mengatakan: “Papua telah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi (Indonesia)”, sehingga seakan-akan tidak ada persoalan dalam integrasi Papua dalam NKRI.
Bertepatan dengan reformasi mahasiswa Indonesia orang Papua mulai buka mulut dan bicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Kampanye dan persiapan membentuk pemerintahanpun dipersiapkan pasca kejatuhan Presiden Soeharto. Satgas Papua, PDP dan kabinet bayanganpun dibentuk dalam Kongres ke II di GOR Jayapura pada tahun 2001. Mereka mulai mengaku dirinya bukan sebagai bagain dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rakyat Papua keberadaannya di dalam NKRI tidak sah. Sebab proses integrasi penuh rekayasa dan manipulasi antara Indonesia dan Amerika (baca: John F Kennedy dan Soekarno) karena itu ada masalah.
Hal itu diawali dialog pertemuan 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal (kini ketua PDP) dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:
1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;
2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;
3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;
4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.
Rekomendasi Kongres, pelurusan sejarah Papua, agenda dialog, dan pembentukan kabinet bayangan pemerintahan transisi dll, membuat ketakutan tersendiri bagi yang lain. Konpensasi dari sejumlah rekomendasi pada akhirnya mempenagruhi kebijakan keputusan pemerintah pusat. Misalnya PT. Freeport tetap diambil Amerika dan hanya sedikit ganti rugi bagi tanah ulayat, untuk kegiatan sosial bagi rakyat miskin dan terbelakang tujuh suku Timika diperhatikan. Perusahaan emas terbesar dunia milik Amerika Serikat itu pada akhirnya harus bayar pajak kepada negara Indonesia sangat tinggi saat ini.
C. Integrasi
Proses integrasi Papua kedalam NKRI penuh rekayasa kepentingan Amerika dan Indonesia, sehingga dengan sendirinya bagi orang Papua integrasi hanyalah aneksasi paksa dan karenanya cacat hukum. Bagi kebanyakan orang Papua, PEPERA tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara) adalah essensi permasalahan dari semua konflik antara TNI/POLRI dan TPN/OPM selama ini. Maka sebelum ada kemauan baik politik para pemimpin Indonesia, maka sepanjang itupula solusi penyelesaian konflik Papua tidak pernah ada titik temu.
Konflik terus berkepanjangan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Bahkan selama 45 tahun integrasi dengan Indonesia sama sekali tidak membawa kemajuan bangsa Papua. Bahkan para pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada gejala suatu upaya proses genosida (punahisasi) etnis Papua secara terselubung (HIV/AIDS, dilakukan dan sengaja dibiarkan terjadi melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi antara rakyat dengan pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).
Memang ada sesuatu yang baik, jadi maksudnya benar, dari Gus-Dur, yang tidak mampu dimengerti Presiden lain Indonesia. Misalnya hal-hal simbolik bukan essensi bernilai cultural Papua harus dihargai karena keunikannya, tidak dipahami baik Presiden berikutnya. Misalnya MRP di Pasung, pencurian emas Papua oleh Freeport Amerika tetap dibiarkan oleh negara, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memakainya, sekarang dianggap haram dan subversip. Hingga ada pasal-pasal UU karet tentang terorisme siap membungkam atau dengan alasan terorisme kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan halal memukul anak-anak mahasiswa Papua sampai mati di penjara.
Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk dan martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui dimana, dihilangkan begitu saja tanpa jejak dan pesan, adalah wajah buruk warisan Presiden Megawati bagi orang Papua. SBY-JK melanjutkan kebijakan itu dan terus membiarkan terjadi sepanjang pemerintahan mereka. Sehingga banyak mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua sangat menderita dan banyak ditangkap dan disiksa ditahanan Polisi. Demikian ini menyisakan luka mendalam bagi kalangan aktifis rakyat Papua. Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, dinilai kurang sopan.
Umumnya terkesan mengekang orientasi kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Bahkan dugaan kuat dikemukakan kalangan intelektual Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay bahwa benar ada proses genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan.
Itu berarti upaya secara terselubung pihak-pihak tertentu untuk membunuh habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika benar provokasi para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya hak bereksistensi didunia habitatnya saja tapi juga adalah menyakut mempertahankan hak hidup diri bangsa Papua.
Indonesia dengan stigma seperatisme, UU pasal karet terorisme, menjadikan dirinya semua menjadi halal, membunuh, menangkap dan menyiksa, siapa saja orang Papua. Dan memang selama ini kita lihat, Jakarta banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Oleh sebab itu Papua nun jauh sana harus banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic.
Karena itu tak terhindarkan konflik bersenjata antara pihak pejuang kemerdekaan (TPN/OPM) dan TNI/POLRI. Di Papua selalu saja ada darah, air mata, tanpa pernah kita tahu kapan berakhir. Maka sesungguhnya konflik vertical antara TNI/POLRI dan TPN/OPM adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat. Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus. Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog.
Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya antara TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.
Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.
Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi terror dan separatisme puncaknya pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.
Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi Otsus Papua dengan TPN/OPM tapi dengan Presidium Dewan Papua (PDP). Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya. Kecuali selama ini kita dengar bahwa Jakarta berkompromi dengan OPM kota buatan militer Indonesia.
Kita belum pernah saksikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Yang dilibatkan dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM sungguhan tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.
B. Otsus Papua
Sejak Otsus diterima Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu hanya bisa diketahui Gus-Dur yang tidak di pahami oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, malah lebih tidak dimengerti aparat militer Indonesia di Papua.
Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali. Semua usaha pemerintah seakan tidak mempan untuk meredam keinginan aspirasi “M” (merdeka) Papua. Terbukti dengan limpahan sekian banyak dana trilyunan belum mampu meredam aksi separatisme Papua. Dimana kesalahannya dan bagaimana solusi penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua mau diakhiri?
Padahal harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa diredam, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme berkempajangan bisa diakhiri sebagaimana penyelesaian konflik sama Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian Papua bahwa dengan Otonomi Khusus maka konflik separatisme bisa diminimalisir. Untuk itu pemerintah Pusat banyak mengucurkan uang didaerah paling ujung Timur Indonesia itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009, membantahkan tesis itu.
Padahal dengan adanya Otsus Papua harusnya mampu mencegah separatisme. Alasannya dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dapat diharapkan meredam anasir separatisme. Memang dana trilyunan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi bagi negara, misalnya hanya menyebut satu, PT Freeport.
Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditampik Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walaupun harus diakui bahwa kelompok kompromistis ini, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pemerintah pusat.
Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat, bagi mereka terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentaliltas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Karena pemerintah terkesan memberikan Otsus Papua semata-mata agar rakyat Papua yang menuntut pemisahan diri dari NKRI agar diam.
Sejauh ini terkesan pemerintah pusat tidak secara serius dan konsisten melaksanak Otsus Papua. Misalnya honor MRP yang tidak dibayar selama beberapa bulan, sekian banyak rekomendasi MRP yang tidak ditanggapi pemerintah. Padahal pembentukan MRP dan pengesahan melalui UU dan sahkan sendiri oleh SBY. Tapi barang yang disahkan pemerintah sendiri melalui UU tidak jelas gaji anggota MRP darimana mau diambilaknnya. Bahkan bagi aktifis Papua menganggap bahwa sekarang ini MRP bukan lagi lambang cultural rakyat Papua Barat. MRP sekarang ini tidak lebih hanya superbody pemerintahan colonial yang sebelumnya di era Gus-Dur, MRP mau difungsikan benar-benar sebagai lambang cultural karena disana ada keterwakilan semua suku dan budaya Papua seperti unsur perempuan, agama, dan golongan yang mencirikan pluralitas semua suku masyarakat Papua.
D. OPM: Otsus Bukan Solusi
Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi TPN/OPM di rimba raya Papua, bagi mereka Otsus Papua sama sekali bukan solusi. Jargon TPN/OPM jelas, bagi mereka, Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI.
Kenyataannya sekarang memang benar diera Otsus Papua banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka lepas dari NKRI. Sampai saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang.
Mengapa itu bisa terjadi? Harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua. Hanya PDP menerima tapi dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog. Tapi tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua.
Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua. Otsus bagi OPM di Pasifik dan TPN rimba raya Papua illegal/tidak sah. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima Otsus bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal gerakan resmi separatisme di rimba raya Papua. Hasilnya berbeda dari yang diinginkan. Apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM sesungguhnya yang berkeliaran di negara-negara kepulauan Pasifik di rimba raya Papua.
Hanya PDP saja yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.
TPN/OPM tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua pemerintah selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.
Dugaan pemerintah pusat Otsus Papua dapat meredam anasir separatisme. Tapi Otsus sesungguhnya hanya punya potensi menimalisir bukan solusi final. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian selamanya, jika penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM, maka perang antara TNI/POLRI versus TPN/OPM tetap akan terjadi selamanya. Demikian juga kalau penyelesaian tanpa pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya TPN/OPM. Akhirnya harapan utopia” Papua Zona Damai” hanya live service belaka para tokoh Agama Papua dan TNI/POLRI.
Sebab selama ini yang duduk berunding hanya beberapa orang kelompok pro Jakarta, tanpa melibatkan tokoh intelektual Papua dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Mereka eksis mempertahankan idealisme, konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong. Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.
Selama tuntutan mereka belum dipenuhi sepanjang jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan. Bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.
Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dengan meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! dst.
Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan HAM, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua.