Selasa, 11 Agustus 2009

PT FREEPORT DAN PEMASALAHANNYA


Awalnya hanya di Erstberg. Dari sanalah Freeport mulai merambah gunung lain bersama kecaman yang melekat padanya.

Freeport berdiri pada tahun 1912. Awalnya hanya perusahaan kecil penambang belerang. Pada 1940, Freeport kemudian mulai mengembangkan sayapnya dengan membuka pertambangan Nikel di Kuba. Namun tak bertahan lama karena diambil paksa oleh Fidel Castro. Setelah hasil dari berbagai tambang mereka mengalami penurunan, berbekal catatan peneliti Belanda, tahun 60-an mereka menelusuri bumi Papua. Menakjubkannya, disitu mereka menemukan kandungan tembaga 13 juta ton diatas permukaan tanah. Kandungan itu kelak menjadikan Freeport sebagai tambang tembaga ketiga terbesar didunia. Dalam tahun 1972, Freeport melakukan ekspor perdana konsentrat tembaga. Saat itu Amerika Serikat lagi dilanda perang habis-habisan dengan Vietnam. Harga tembaga melangit. Penambanganpun digenjot besar-besaran. Alhasil Freeport menangguk keuntungan yang sangat besar. Dengan kekayaannya itulah, Freeport mengakuisisi Mc Moran Oil and Gas, dan mengubah namanya sendiri menjadi Freeport Mc Moran. Gunung Rumput di Tembagapura, yang kelak disebut pula sebagai Gunung Emas, mulai dikelola Freeport pada 1988. Sebelumnya kandungan emas ini telah ditemukan tahun 1936 oleh peneliti Belanda.

Setelah tembaga terbesar ketiga, kini Freeport memiliki tambang emas terbesar pertama di dunia. Keuntungannya memang menggila. Pada Januari 2001, harga Tembaga hanyalah US$ 2.13/kg. Pada Januari 2005, harganya naik menjadi US$ 3.70/kg dan meroket pada Januari 2006 menjadi US$ 5.43/kg alias 250% dibanding 5 tahun sebelumnya. Harga emas juga demikian. Pada awal 2001 masih sekitar US$ 9.000/kg, meningkat menjadi US$ 15.900/kg di awal tahun 2005, dan kini melangit hingga lebih dari US$ 18.900/kg. Saham terbesar diperusahaan ini adalah milik milik Freeport Mc Moran, 81.2 %. Pemerintah Indonesia hanya memiliki 9.4 % saham. Sedangkan, sisa saham sebesar 9.4%, dimiliki oleh Indocopper Investama, yang ternyata 100% saham perusahaan ini dimiliki Freeport Mcmoran juga. Dalam perkembangannya, Freeport Mcmoran berencana melepas Indocopper Investama.

Hasil yang gemilang, emas yang banyak, ternyata tak membawa Freeport pada sebuah jalan yang mulus. PT. Freeport Indonesia dari tahun ke tahun selalu diumpat. Dikecam dan dikritik. Beberapa diantaranya bahkan melakukan unjukrasa menentang keberadaan Freeport. Pada beberapa peristiwa, penembakan dan kekerasan juga mewarnai aktivitas karyawan dalam areal PT. Freeport. Hingga pertengahan Juli kemarin, penembakan, bahkan terhadap karyawan terjadi hingga membuat seluruhnya angkat kaki dan cuti. Bagi sejumlah kalangan, insiden penembakan yang terjadi berturut-turut itu dinilai tidak lepas dari rangkaian persoalan ketidakadilan yang timbul akibat beroperasinya PT. Freeport Indonesia. “PT. Freeport menimbulkan kejahatan ekologi, tragedi kemanusiaan dan penjajahan ekonomi bangsa,” ungkap Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forqan di Jakarta.

Berry menegaskan, kekerasan yang terjadi di Papua akibat adanya ketidakadilan dengan diberikan ruang sangat besar oleh Pemerintah kepada PT Freeport untuk mengeksploitasi kekayaan tanah Papua. “PT Freeport mengeksploitasi dan mengakses kehidupan politik, ekonomi, dan sosial rakyat Papua. Ketika sudah kebablasan, pemerintah tidak berdaya,” ujarnya.

Kekerasan, perusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial, paparnya, telah melekat dalam sejarah operasi PT Freeport di Papua yang mulai beroperasi sejak tahun 1967. “Jangan hanya melihat persoalan pada kelompok-kelompok tertentu di Papua yang melakukan kekerasan,” ucapnya. Untuk itu, lanjut Berry, jalan keluar untuk mengatasi segala kekerasan dan ketidakadilan yang selama ini terjadi di Papua adalah dengan menghentikan total operasi PT Freeport. “SBY jika punya komitmen terhadap rakyat Papua harus menghentikan operasi PT Freeport,” lontarnya. Pemerintah, tambahnya, juga harus membentuk komite independen yang beranggotakan pakar hukum, lingkungan, sosial untuk mengkaji ulang segala aspek, mulai dari HAM, ekologi, sosial, hingga ekonomi.

Selain itu, langkah lain, pemerintah memfasilitasi konsultasi publik yang menghadirkan rakyat Papua terutama masyarakat sekitar PT. Freeport untuk mendapatkan gambaran sebenarnya yang selama ini terjadi. “Sambil langkah-langkah tersebut berjalan, lakukan penegakan hukum terhadap kerusakan lingkungan serta HAM,” ujarnya. Jika benar operasi ditutup. PT. Freeport juga, kata dia, harus bertanggung jawab terhadap ekologi serta seluruh pekerja. “Para pekerja bisa dialihkan untuk pemulihan ekologi dan ekonomi,” kata Berry.

Ulah Jahat Freeport

Dalam buku “Freeport, Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa “Menjajah” Indonesia?” yang ditulis, Torry Kuswardono, Siti Maimunah, dkk, WALHI - JATAM, 2006, disebutkan, sebenarnya sejarah konglomerasi sumber daya alam Freeport McMoran Copper and Gold melibatkan banyak pemegang saham, merger, juga peralihan kepemilikan. Dalam pengoperasiannya, Freeport McMoran menduetkan pebisnis dengan pejabat dan politisi di Amerika Serikat. Hal ini dimaksudkan sebagai pelicin upaya ekspansi perusahaan dalam mengakumulasi kapital dipelbagai penjuru dunia, tak terkecuali di Papua. Sebut misalnya, Henry Kissinger, mantan Menlu Amerika Serikat, yang menjadi direktur perusahaan. Dalam kiprahnya, Freeport McMoran berhasil menyediakan sekitar $730,000 bagi anggota-anggota Kongres AS, meliputi Presiden Clinton (dulunya) dan Partai Demokrat.

PT. Freeport Indonesia adalah anak perusahaan yang didirikan oleh Freeport McMoran Copper and Gold Inc. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988).

Sejak eksplorasi digulirkan PT. Freeport Indonesia, sejumlah kejahatan serius muncul. Pertama, penghancuran terhadap lingkungan secara sistematik, terus-menerus, dan sengaja. Kedua, kejahatan pelanggaran pajak. Ketiga, kejahatan kemanusiaan, berupa pemusnahan hak dasar ketujuh suku di sekitar lokasi pertambangan PT. FI. Bahkan, pada tahun 2003, PT Freeport Indonesia mengakui telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat dari wilayah mereka. Lebih jauh, menurut laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan senyampang tahun 1998-2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS.

Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh aparat militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya. Pembunuhan tersebut berjalan dengan kemiskinan yang menimpa warga asli di Timika. Torry Kuswardono, dan Siti Maimunah menyebutkan, sejak tahun 1971, warga suku Amugme telah dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan. Tak pelak, sejak itu, perlahan tapi pasti, kondisi alam Amungme hancur melebur. Kehidupan suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) pun makin terhimpit kemiskinan dan kesengsaraan tanpa batas.

Tengok saja. Saat orang Papua mengais rezeki, menambang tailing di Kali Kabur Wanomen, mereka dihalau secara kasar oleh Satpam PT. Freeport dan aparat keamanan Indonesia, mereka ditembak dan jatuh korban. Tidak terbayangkan, yang mereka usir adalah saudara sendiri yang mengais secuil rezeki dari limbah gunung kemakmuran milik kita. Apakah untuk mendapat emas sebesar butir pasir di limbah industri PT Freeport rakyat Indonesia harus kehilangan nyawanya?

Rasa sedih menyergap manakala disadari ada kota modern, Kuala Kencana, dekat Timika, tempat para petinggi PT. Freeport bersemayam. Sementara 6-7 kilometer dari kota itu ada rumah yatim piatu Papua yang taraf kehidupannya sama seperti sebelum mereka “ditemukan”. Dalam radius itu, bisa ditemukan saudara-saudara kita yang masih mengenakan koteka. Entahlah. Kapan semua itu berakhir? (Tim Jubi/JR).